Oke, kalian berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu haram, merusak akidah, kafir. Silahkan.
Oke, kalian berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu boleh, tidak haram, tidak melanggar akidah. Silahkan.
Semua pendapat adalah hak asasi. Yang dimiliki oleh masing-masing kita. Menjadi masalah adalah saat dua kutub yang berbeda itu dipertemukan. Di ruang publik pula, baik di jalanan melalui baner, spanduk, dan baliho. Juga di ruang publik digital melalui status, tulisan, konten gambar, dan sebagainya. Terlebih dibumbui dengan kalimat-kalimat provokatif.
Seandainya, yang tidak setuju terhadap ucapan natal dari seorang muslim memberitahukan secara personal, tentu tidak akan seriuh ini. Tidak perlu menjadi heboh dan pembahasan yang bertele-tele.
Di satu sisi, orang yang mengharamkan ucapan natal, bikin spanduk. Disebar di jalur-jalur strategis. Dibentangkan dengan muka yang sangar, dibumbui dengan tulisan yang sangar "Yang merusak, mencopot spanduk ini berarti musuh Islam". Masak mencopot spanduk berarti musuh Islam? Sepertinya Islam tak sebengis itu. Nanti dikit-dikit musuh Islam. Jika itu hanya musuhmu, tolonglah jangan ajak dan bawa-bawa agama yang mulia ini.
Ada pula alasan bahwa, mengucapkan selamat natal bisa menganggu keimanan, pertanyaannya: Apakah keimananmu secetek itu? Dengan memakai blangkon berarti tidak islami, memakai gamis berarti islami? Apa iya? Apa benar?
Begitu juga sebaliknya, yang mengucapkan natal dari kalangan non-kristen sok-sokan pamer. Pasang spanduk besar, kami keluarga besar ini dan keluarga besar itu mengucapkan selamat hari raya natal. Sendainya tidak perlu begitu. Ucapkan ya ucapkan saja, secara personal. Langsung pada yang merayakan. Lebih tenang kan.
Tadi, yang melarang-larang. Apa hak kalian melarang orang lain yang bukan muridmu untuk melakukan dan mengucapkan sesuatu.
Ada sebuah cerita, seorang kiai dari Banyuwangi melarang muridnya yang hendak mengingatkan orang yang sedang pujian di masjid dengan pengeras suara yang salah. Seharusnya pujian yang benar adalah:
"La yaghfiru dzunuba... Inna rabbul alamain"
Tapi seoarang muazin sepuh, pujiannya jadi begini: "Layar biru... dzunuba..."
Sang kiai mengatakan kepada muridnya: "Jangan, biarkan itu. Jangan-jangan itu yang disukai Allah."
Betapa santun sang kiai itu, tidak perlu marah-marah. Memang salah. Tapi jangan disalah-salahkan. Apalagi dimusuhi, apalagi diharamkan. Apalagi dikafirkan.
Jika ingin memberitahu, bahwa mengucapkan "Selamat Natal" haram hukumnya bagi muslim, ya beri tahu secara personal. Akan lebih bermanfaat. Akan lebih sopan. Mungkin juga akan lebih mengena dan diterima oleh semua kalangan muslim. Kalau perlu, ketika memberitahukan bahwa 'mengucapkan selamat natal itu haram' kepada sesama muslim jangan sampai diketahui oleh orang kristen yang merayakan natal. Biar hanya tuhan yang tahu kebaikan kita. Tidak perlu orang lain tahu. Bukankah kita diajarkan oleh nabi ketika tangan memberi tangan kiri jangan sampai tahu?
Dibanding dengan bikin satu baner atau spanduk, dipasang, dipotret, kemudian disebar di media, usaha memberi tahu satu-persatu muslim memang lebih mahal biayanya. Tapi jika itu demi kebaikan yang baik bukankah dihitung sebagai jihad bilmal, dengan harta yang kita miliki. Kecuali jika memang tujuannya 'melarang mengucapkan natal' bukan untuk kebaikan, tapi ingin menunjukkan jati diri, menunjukkan eksistensi dan gumede.
Coba semuanya waras, dan coba semuany mau mengalah. Seandainya yang ingin mengucapkan selamat natal, karena menghormati orang yang merayakan natal mengucapkan jangan sampai diketahui orang yang melarang. Pasti tidak ada perselisihan. Begitu pula yang melarang, tak perlu dengan cara provokatif, pasti tidak ada masalah.
Jangan-jangan kita adalah masalahnya. Sementara Tuhan dan Malaikat tersenyum kecut melihat ulah kita sambil berkata, "Dasar manusia, sukanya memperdebatkan kulit. Padahal yang kulihat adalah dan jiwanya."
Oke, kalian berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu boleh, tidak haram, tidak melanggar akidah. Silahkan.
Semua pendapat adalah hak asasi. Yang dimiliki oleh masing-masing kita. Menjadi masalah adalah saat dua kutub yang berbeda itu dipertemukan. Di ruang publik pula, baik di jalanan melalui baner, spanduk, dan baliho. Juga di ruang publik digital melalui status, tulisan, konten gambar, dan sebagainya. Terlebih dibumbui dengan kalimat-kalimat provokatif.
Seandainya, yang tidak setuju terhadap ucapan natal dari seorang muslim memberitahukan secara personal, tentu tidak akan seriuh ini. Tidak perlu menjadi heboh dan pembahasan yang bertele-tele.
Di satu sisi, orang yang mengharamkan ucapan natal, bikin spanduk. Disebar di jalur-jalur strategis. Dibentangkan dengan muka yang sangar, dibumbui dengan tulisan yang sangar "Yang merusak, mencopot spanduk ini berarti musuh Islam". Masak mencopot spanduk berarti musuh Islam? Sepertinya Islam tak sebengis itu. Nanti dikit-dikit musuh Islam. Jika itu hanya musuhmu, tolonglah jangan ajak dan bawa-bawa agama yang mulia ini.
Ada pula alasan bahwa, mengucapkan selamat natal bisa menganggu keimanan, pertanyaannya: Apakah keimananmu secetek itu? Dengan memakai blangkon berarti tidak islami, memakai gamis berarti islami? Apa iya? Apa benar?
Begitu juga sebaliknya, yang mengucapkan natal dari kalangan non-kristen sok-sokan pamer. Pasang spanduk besar, kami keluarga besar ini dan keluarga besar itu mengucapkan selamat hari raya natal. Sendainya tidak perlu begitu. Ucapkan ya ucapkan saja, secara personal. Langsung pada yang merayakan. Lebih tenang kan.
Tadi, yang melarang-larang. Apa hak kalian melarang orang lain yang bukan muridmu untuk melakukan dan mengucapkan sesuatu.
Ada sebuah cerita, seorang kiai dari Banyuwangi melarang muridnya yang hendak mengingatkan orang yang sedang pujian di masjid dengan pengeras suara yang salah. Seharusnya pujian yang benar adalah:
"La yaghfiru dzunuba... Inna rabbul alamain"
Tapi seoarang muazin sepuh, pujiannya jadi begini: "Layar biru... dzunuba..."
Sang kiai mengatakan kepada muridnya: "Jangan, biarkan itu. Jangan-jangan itu yang disukai Allah."
Betapa santun sang kiai itu, tidak perlu marah-marah. Memang salah. Tapi jangan disalah-salahkan. Apalagi dimusuhi, apalagi diharamkan. Apalagi dikafirkan.
Jika ingin memberitahu, bahwa mengucapkan "Selamat Natal" haram hukumnya bagi muslim, ya beri tahu secara personal. Akan lebih bermanfaat. Akan lebih sopan. Mungkin juga akan lebih mengena dan diterima oleh semua kalangan muslim. Kalau perlu, ketika memberitahukan bahwa 'mengucapkan selamat natal itu haram' kepada sesama muslim jangan sampai diketahui oleh orang kristen yang merayakan natal. Biar hanya tuhan yang tahu kebaikan kita. Tidak perlu orang lain tahu. Bukankah kita diajarkan oleh nabi ketika tangan memberi tangan kiri jangan sampai tahu?
Dibanding dengan bikin satu baner atau spanduk, dipasang, dipotret, kemudian disebar di media, usaha memberi tahu satu-persatu muslim memang lebih mahal biayanya. Tapi jika itu demi kebaikan yang baik bukankah dihitung sebagai jihad bilmal, dengan harta yang kita miliki. Kecuali jika memang tujuannya 'melarang mengucapkan natal' bukan untuk kebaikan, tapi ingin menunjukkan jati diri, menunjukkan eksistensi dan gumede.
Coba semuanya waras, dan coba semuany mau mengalah. Seandainya yang ingin mengucapkan selamat natal, karena menghormati orang yang merayakan natal mengucapkan jangan sampai diketahui orang yang melarang. Pasti tidak ada perselisihan. Begitu pula yang melarang, tak perlu dengan cara provokatif, pasti tidak ada masalah.
Jangan-jangan kita adalah masalahnya. Sementara Tuhan dan Malaikat tersenyum kecut melihat ulah kita sambil berkata, "Dasar manusia, sukanya memperdebatkan kulit. Padahal yang kulihat adalah dan jiwanya."
0 Response to "Yang Salah Adalah Provokasinya"
Post a Comment